Sunday, April 21, 2013

Obat Terbaik Untuk Pecandu Narkoba Berat

 

Dewasa ini penyalahgunaan Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya) semakin meluas, dan telah sampai pada tahap membahayakan. Bahan ini telah dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat, dari tingkat atas sampai hingga bawah, dan semua kelompok masyarakat baik anak-anak, orang dewasa, kalangan eksekutif, mahasiswa, pelajar maupun preman.
Menurut catatan dari World Drug Report (Colombo Plan, 2005) diperkirakan 200 juta manusia selama tahun 2004 telah diketahui menggunakan Narkoba di hampir seluruh negara. Terlebih, lagi jaringan penggunaan Narkoba telah berkembang begitu dasyat, dan permasalahannya tak hanya muncul pada penyalahgunaan tapi juga pada kian meningkatnya produksi dan penjualannya.
Korbannya dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Khusus di Indonesia, sejak 1970 saat permulaan Narkoba melanda remaja khususnya di Jakarta hingga 2000, data kunjungan korban penyalahgunaan Narkoba di RSKO Jakarta dan Polri, baik rawat inap maupun rawat jalan, menunjukkan peningkatan signifikan. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi lonjakan kasus lebih dari 400 persen. Tercatat 28387 kasus yang ditangani Polri, dan kasus Narkotika menjadi yang terbanyak, yaitu 13803 kasus.
Berdasarkan PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa) maupun DSM IV, penyalahgunaan Narkoba dapat didiagnosa sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan. Dan menurut jumhûl ulama, hukum barang berbahaya ini haram, selain untuk pengobatan. Penggunaan, memperdagangkan, maupun memproduksinya merupakan amalan berdosa.
Banyak faktor yang mendorong seseorang menjadi penyalahguna Narkoba. Umumnya, kegagalan dalam pemenuhan fungsi-fungsi yang ideal dalam setiap tahapan perkembangan manusia, dapat memperbesar kemungkinan munculnya ketergantungan seseorang kepada Narkoba.
Menurut Edward Kaufman (Family Therapy of Drugs and Alcohol Abuse, 1991), banyak sekali variabel yang harus diperhatikan dalam mekanisme munculnya penyalahgunaan. Yaitu biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Ia mencatat, terdapat beberapa hal yang patut digaris bawahi, yaitu adanya suatu pola kepribadian spesifik, di antaranya ketidak-mampuan seseorang dalam mengatasi frustrasi, kecemasan dan tekanan, serta perilaku yang tidak asertif.
Berdasarkan penelitiannya terhadap Polydrug abusers (pengguna aneka macam jenis Narkoba), terlihat tingginya tingkat depresi, kebingungan diri, penolakan, merasa dirinya besar, mengabaikan otoritas, dan kemampuan berkelit para pengguna.
Barang berbahaya ini sangat riskan menyebabkan rasa kecanduan hingga ketergantungan penggunanya. Menurut Sarafino (Health Psychology; Biopsychososial Interaction, 1990), kecanduan merupakan kondisi yang dihasilkan oleh penggunaan zat alami atau sintensis secara terus-menerus, yang membuat penggunanya tergantung secara fisik dan psikologis kepada zat tersebut.
Rice (1996) membedakan antara kecanduan fisik dengan kecanduan psikologis. Kecanduan fisik ditandai dengan terjadinya gejala putus obat ketika penggunaan dihentikan. Sedangkan kecanduan psikologis ditandai dengan berkembangnya kebutuhan terhadap narkoba.
Sementara Frankl menyebutkan, alasan individu mencandu narkoba adalah kegagalan seseorang dalam menemukan makna hidup.
Pendekatan Spiritual
Penelitian mutakhir telah mengindikasikan bahwa agama merupakan faktor pelindung manusia untuk mendapatkan kesehatan fisik dan psikologis. Menurut Wills, Yeager dan Shandy (Psychology of Addictive Behaviors, 2003) banyak penelitian yang membuktikan bahwa terjadi tingkatan yang rendah penyalahgunaan Narkoba di kalangan orang yang terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam jiwa manusia, menurut pandangan psikologi Islam, disebabkan ketidak-tundukkan individu kepada aturan-aturan yang diberikan Sang Khalik. Penyimpangan secara vertikal kepada Sang Maha Pencipta, secara langsung akan memberi dampak horizontal antarsesama manusia.
Artinya, akhlak atau tindak tanduk keseharian seseorang sangat ditentukan oleh kebersihan sifat jiwanya dalam kedekatan kepada Sang Khalik, juga bagaimana ia bersikap terhadap kemunkaran atau kondisi negatif yang ada di hadapannya.
Suasana perasaan cemas dan gelisah merupakan salah satu pertanda dari kondisi dan keadaan jiwa yang tidak seimbang. Ketika seseorang tidak mampu menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya, maka gangguan emosional dalam diri akan muncul tanpa dapat dihindari.
Ketidakmampuan seseorang untuk menanggapi rangsangan emosional dari luar dengan layak, dan keterbatasan untuk mengolah emosi maupun mengekspresikan perasaan-perasaannya, dapat muncul menjadi bentuk gangguan perasaaan (mood) dan perilaku (Qs. al-Baqarah [2]: 277).Dalam konteks psikologi Islam, suasana perasaan yang negatif, seperti rasa khawatir, kecemasan dan sedih hati, muncul dari ketidakmampuan seseorang untuk menyerahkan segala persoalan kehidupannya kepada sumber kekuatan Allah SWT, atau tawakal (Qs. al-Anfâl [8]: 2-4).
Permasalahan-permasalahan dalam kehidupan seseorang akan muncul, jika ia tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan persoalan dengan baik. Konflik yang sering merupakan penyebab utama suatu masalah, akan dapat diselesaikan apabila seseorang mempunyai kemampuan penataan konflik (management conflict) yang baik. Kegagalan seseorang untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah kehidupan, pada gilirannya nanti akan menyebabkan meningkatnya kecemasan dan perasaan ketidaknyamanan diri.
Penelitian Williams, Larson, Buckler, Hackman dan Pile pada tahun 1991 membuktikan adanya kaitan yang cukup erat antara tekanan dalam kehidupan dengan keagamaan yang dimiliki seseorang. Stres dan kecemasan dalam kehidupan, akan semakin menurun seiring dengan frekuensi keterlibatannya dengan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Menurut George de Leon (2002), Tuhan merupakan sumber spiritual “Kekuatan Tertinggi”, yang secara pribadi harus dapat dihubungkan oleh pribadi para pecandu yang tengah menjalani proses recovery (penyembuhan). “Kekuatan Tertinggi” itu dapat menjadi sumber kekuatan spriritual untuk perubahan pribadi pencadu, jika ia mampu sadar dengan kekcilan dirinya dibanding Tuhan.
Dalam “Model 12 Langkah” pemulihan pecandu Narkoba, pada langkah kedua juga disebutkan “Kekuatan yang Lebih Tinggi” yang dapat mengembalikan pecandu pada kewarasan. Langkah ini dilaksanakan setelah pecandu melakukan pengakuan ketidak berdayaannya atas kekuatan Narkoba dan adiksi, serta pernyataan kehidupannya yang tidak terkendali akibat barang berbahaya itu.
Pada langkah ketiga ditekankan penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakal). Yaitu upaya mengalihkan hidup dari menuhankan Narkoba dan adiksi, kepada kehidupan yang diatur oleh Tuhan. Dari dua belas langkah yang ada, terdapat lima langkah (3, 5, 6, 7, dan 11) yang menghubungkan antara pecandu dengan Tuhan.
Obat Tawakal
Kondisi dan keadaan jiwa seseorang, dapat menggambarkan akhlak yang akan muncul darinya. Dan tingkat kecemasan seseorang, sangat berdampak pada munculnya akhlak yang buruk. Imam Syahrarwardi (dalam Ghazali Menuju Mukmin Sejati, 1994) mengatakan, bahwa hamba Allah hanya mungkin mencapai derajat kerendahan hati yang sejati, jika cahaya renungan Ilahi mulai bersinar di dalam hatinya. Ketika tipuan kecongkakan jiwa pudar, ia pun menjadi lembut, patuh kepada Allah dan menghormati manusia.
Dalam sebuah hadits disebutkan, seorang lelaki berkata kepada Rasulullah SAW, “Berilah aku nasihat.” Maka beliau bersabda, “Takutlah kepada Allah, di manapun kamu berada.” Lelaki itu berkata, “Tambahkan lagi.” Nabi bersabda, “Iringilah perbuatan dosa dengan kebaikan, niscaya akan terhapuslah dosa itu.” Lelaki itu kembali berkata, “Tambahkanlah lagi.” Nabi menjawab, “Pergaulilah manusia, dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hanbal)
Untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan diri, seseorang hanya dapat mengidentifikasi baik buruk kondisi jiwanya, jika ia mengetahui keadaan berlawanan yang ada dalam jiwanya. Menurut al-Ghazali, sifat-sifat berlawanan yang akan digunakan untuk menyembuhkan akhlak buruk, harus ditentukan dosisnya. Jiwa yang kurang sempurna dan jernih, harus diupayakan menemukan kekurangan-sempurnaan jiwanya.
Dalam hal pecandu Narkoba, akhlak buruk akibat kecanduan dalam dirinya akan diketahui setelah ia menyadari suasana hatinya yang cemas, yang menggambarkan kerapuhan kondisi jiwa yang sesungguhnya. Dan itu akibat lemahnya penyerahan diri (tawakal) si pecandu kepada sumber kekuatan yang Maha Agung, Allah SWT. Hingga berpengaruh pada buruknya hubungan dirinya dengan orang lain, yang tergambar dalam perilaku asertif.
Kecemasan dapat ditanggulangi dengan mendekatkan diri kepada Allah, yang di antaranya melalui ibadah. Dengan ibadah, seseorang akan terseimbangkan akal dan semua emosi dirinya. Dengan konsistensi mengingat Allah di setiap waktu, dan menghadapkan diri kepada-Nya sepenuh hati dan jiwa, seorang pecandu akan mendapatkan perlakuan secara ruhani dan kejiwaan. Saat berinteraksi dengan Allah, melalui ibadah, ia akan dapat terlepaskan dari kesendirian dan kekosongan ruh.
Musfir ibn Said az-Zahrani (Konseling Terapi, 2005) mengungkapkan, dengan mengingat Allah dalam ibadah maupun di luar ibadah, akan tumbuh rasa kedekatan hati dengan Allah. Orang yang melakukannya pun akan selalu bertawakal kepada-Nya. Dengan ibadah, orang tidak akan merasa kesendirian di dunia, atau terkucilkan dari masyarakatnya.
Jika pecandu yang sedang menjalani proses pemulihan mencapai tahapan itu, maka dalam dirinya akan tumbuh perasaan aman dan ketenangan jiwa. Yang selanjutnya dapat melepaskan mereka dari semua penyebab keraguan, ketakutan, kesedihan, dan utamanya kecemasan diri.
Orang-orang yang bertawakal, modal pokok mereka adalah mengabdikan diri kepada Allah. Mereka akan berlapang dada dan jauh dari pikiran-pikiran kusut yang merepotkan diri, hingga mereka bisa hidup tentram, tanpa dirongrong kepentingan makhluk. Mereka tidak akan merasakan kesendirian di dunia, dan tidak akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi kepada orang lain dengan jujur dan terbuka.
Mereka merupakan kaum yang kuat dan bebas. Seolah mereka raja sejagad, beribadah tanpa ada godaan dan halangan. Karena semua tempat dan waktu bagi mereka sama saja, tidak memberikan pengaruh apa-apa. Sebab modal pokok mereka adalah tawakal

No comments:

Post a Comment